Sejarah

 SEJARAH BERDIRINYA YAYASAN ASSURUR MASAKINI


1     .PENDAHULUAN

        Desa Pulo adalah desa yang terletak dikawasan kecamatan Banjarejo, Kab. Blora bagian selatan. Untuk menuju ke lokasi harus menempuh jarak ± 9 km dari kota Blora ke arah selatan, tepatnya jurusan Randublatung. Keadaan penduduknya tergolong miskin,tanahnya kurang subur, mata pencaharian sehari hari kebanyakan bercocok tanam, dan berternak sapi & kambing. Penghasilannya sangat rendah, karena sawah dan ladangnya rata-rata tadah hujan, tidak ada bendungan atau irigasi sama sekali, maka rata-rata penduduknya berpenghasilan rendah atau ekonomi lemah. Karena penduduknya berpenghasilan rendah, maka latar belakang pendidikannya juga rendah, rata-rata hanya tamat SD, baru sedikit yang meneruskan ke tingkat yang lebih tinggi, apalagi ke Perguruan Tinggi.
       Seluruh Penduduknya beragama Islam. Sebelum merdeka, menurut sejarah Islam, disini hanyalah Islam KTP. Penduduknya belum taat menjalankan agama, apalagi di kecamatan Banjarejo juga terkenal pusat ajaran samin, tepatnya di desa Klopo duwur. Walhasil penduduknya masih banyak yang mencuri, merampok, main, minum, madon, mabuk, dll. Bahkan pada waktu itu banyak sekali orang yang punya keyakinan kalau menjalankan sholat lima waktu akan cepat mati, atau tidak panjang umur dll. Maka tidak heran banyak muddin yang seharusnya menjadi Imamuddin  (Pemimpin Agama ) di desa masing-masing tidak melaksanakan sholat lima waktu.
       Pada tahun 1920 lahirlah seorang anak laki-laki dari keluarga petani yang buta huruf  bernama ( Wiryo dikromo – Jami ) yang diberi nama Wiji, yang akhirnya menjadi pejuang agama yang ulet, sekaligus menjadi Thabib ( dukun ). Beliaulah yang menjadi cikal bakal atau pendiri Yayasan Assurur Masakini yang dulunya berasal dari sebuah Pondok Pesantren bernama Talayyunul Mubtadi’in.
II    . MASA PERKEMBANGAN
       Karena dipersiapkan oleh Alloh Swt untuk menjadi Tokoh Agama, maka walaupun terlahir dari keluarga petani yang buta huruf, anak laki-laki yang bernama Wiji tadi sudah giat belajar mengaji dan sekolah. Sehingga begitu tamat Sekolah Rakyat ( SR ), beliau langsung mondok disebuah Pondok Pesantren yang terletak di kecamatan Kunduran, tepatnya di desa Panggang, yang di asuh oleh Kyai Tiga Serangkai, yaitu ; K.H. Abd. Rosyid / Anwaruddin, K.H. Abdulloh, K.H. Abdul fatah, yang ketiga – tiganya populer di bidangnya masing – masing.  
       Pada waktu beliau berangkat mondok, konon kabarnya beliau belum khitan, sehingga ditengah-tengah masa belajar beliau disuruh pulang oleh kedua orang tuanya untuk dikhitankan. Nama Wiji yang artinya bibit itu memang pemberian kedua orang tuanya yang disesuaikan dengan kenyataan, karena setiap kali kedua orang tuanya punya anak pasti mati kecil. Namun entah karena apa nama tersebut diganti menjadi Abdul Mannan oleh Al mukarrom Guru-gurunya pondok Panggang. Karena saking semangatnya menuntut ilmu, beliau mondok di Panggang sampai 11 ( sebelas) tahun. Disamping belajar ilmu syareat juga getol banget belajar ilmu tirakat.
       Setelah matang menimba ilmu 11 tahun di Pondok Panggang beliau lantas meneruskan mondok di Lasem-Kab. Rembang, tepatnya dibawah asuhan K.H. Kholil ( Pon Pes An Nur ) selama beberapa tahun. Selama mondok di Lasem itulah beliau mendalami ilmu-ilmu hikmah, memperbanyak tirakatan, dan berguru kepada Kyai-kyai sepuh di Lasem & sekitarnya. Terutama Kyai-kyai sepuh daerah Tuyuhan yang terkenal gudangnya orang-orang sakti. Yang mana semua itu digeluti oleh beliau dengan penuh semangat. Karena memang sejak mondok di Panggang Kunduran, beliau hoby sekali dengan tirakatan, mempelajari ilmu hikmah, & ilmu kethabiban.
       Namun, karena beliau anak semata wayang, maka kedua orang tuanya gelisah, khawatir kalau belum sempat menimang cucu, tapi sudah dipanggil oleh Yang Maha Kuasa. Apalagi kedua orang tuanya itu tergolong orang yang kaya, tanah-tanahnya ada dimana-mana. Walhasil beliau dipanggil pulang agar segera kawin / menikah serta berumah tangga, karena beliau ingin menjadi anak sholih yang berbakti & taat kepada kedua orang tuanya. Maka ± pada tahun 1945, beliau menikahi gadis cantik ( tetangganya sendiri )yang bernama St. Asiyah, putri seorang saudagar besar yang kaya raya, bahkan konon kabarnya orang yang terkaya di desanya (yaitu H. Ihsan).
Karena di  sekitar desa Pulo-Mojowetan ada seorang tokoh agama yang bernama Abdul Mannan, maka setelah menikah beliau berganti nama menjadi K. Masruri sampai wafat. Nama itulah yang di kenal oleh masyarakat luas. Walaupun nama Abdul mannan juga masih terkenal di sekitar panggang.
       Dari perkawinan tersebut,beliau dikaruniahi 12 anak, yaitu 7anak laki-laki dan 5 anak perempuan. Subhanallah, sungguh mecah jarak, karena beliau anak tunggal dan di karuniahi 12 anak, itulah kuasa Allah. Sekali lagi Subhanalloh Walhamdulillah.
PERIODE PERTAMA ( TAHUN 1945 – 1985 )
       Sejak beliau menikah & mukim di desa Pulo ± th 1945, maka beliau langsung mendirikan Pesantren kecil-kecilan, yang bangunannya serba bambu, yang diberi nama Pondok Pesantren Talayyunul Mubtadi’in. Yang mana nama tersebut di sesuaikan dengan kondisi masyarakat yang baru akan di kenalkan ajaran agama Islam yang sebenarnya.
Pada waktu itu muridnya tidak hanya anak-anak kecil, tapi juga banyak dari orang-orang dewasa,bahkan orang yang sudah tua. Tapi semua itu masih pemula, yaitu minta di ajari caranya wudlu – sholat – mandi jinabat. Karena menurut sejarah ketika beliau mulai mengajar ilmu-ilmu agama dengan mendirikan Pesantren ± th.1945, penduduk desa itu hanya 5 keluarga yang melaksanakan sholat 5 waktu dari 300 KK yang ada. Namun karena keuletan, ketangguhan, kesabaran, serta kebijaksanaan beliau lambat laun Pesantren tambah ramai, bahkan banyak santri berdatangan dari luar desa sekitar kecamatan Banjarejo.
       Namun yang namanya hambatan-tantangan-rintangan itu pasti ada, apalagi desa Pulo dan sekitarnya itu gudangnya dukun jowo yang sifatnya rata-rata anti agama – anti kyai dan benci terhadap santri. Salah satu contoh yaitu dukun-dukun jowo selalu memberi wejangan kepada para cantrik dan pengikutnya bahwa ilmunya lebih tinggi dari ilmunya kyai, ilmunya tidak bisa menyatu dengan masjid, sehingga murid-muridnya dilarang masuk masjid, karena akan luntur semua ilmunya manakala hal itu dilanggar.
       Walhasil dalam memperjuangkan Agama Islam, beliau banyak menerima tantangan, sampai-sampai harus adu kesaktian dengan dukun-dukun jowo, beserta santet-tenung-dan teluhnya. Yang semua itu totohane nyowo, artinya kalau tidak menang pasti nyawa melayang. Namun karena ridlo Alloh dan pertolongan-Nya semua itu bisa diatasi dengan baik dan selamat.
       Sampai ± tahun 1950-an beliau belum bisa melaksanakan sholat jum’at di desa Pulo, karena kondisi warganya belum memungkinkan. Karena bertambah hari bertambah banyak santri & pengikutnya, barulah pada tahun 1953 beliau melaksanakan sholat jum’at di desanya, bertempat dilanggar yang serba bambu. Sesuai perkembangan zaman, seiring dengan majunya Pondok Pesantren Talayyunul Mubtadi’in, maka pada tahun 1958 beliau bersama-sama pengikutnya mendirikan masjid yang bangunannya serba kayu, yang diberi nama Masjid Jami’ Baitussurur.
       Karena umurnya semakin tua, tenaganya semakin loyo, penyakit tekanan darahnya semakin tinggi, maka ± th. 1985 Pondok Pesantren diserahkan kepada putranya yang ke-7 yaitu K. Ismail Ibnuzzaman.
PERIODE KEDUA ( TH. 1985 – SEKARANG )
       Karena beliau memahami serta menghayati sabda Nabi yang berbunyi ;
من  ا ر ا د ا لد نيا فعليه بالعلم ومن ا را د الا خرة فعليه با لعلم ومن ا را دهما فعليه بالعلم
Yang artinya ; ” Barang siapa ingin mengarungi dunia & akhirot harus berilmu ”. Maka sebelum Pesantren diserahkan kepada putranya, beliau telah membekali semua putra-putrinya dengan ilmu agama dan ilmu umum.
       Setelah Pondok diserahkan kepada salah satu putranya yang memang telah dipersiapkan sebelumnya yang bernama K. Ismail IZ, yang pernah mondok di Sulang Rembang dibawah asuhan K.H. Abdul Wahab, mondok di Lasem dibawah asuhan K.H. Abd. Hamid Baidlowi & K.H. Dimyati Ihsan. Juga pernah mondok di Kajen-Pati dibawah asuhan K.H. Durri Nawawi & K.H. Umar Hasbulloh. Walaupun hanya sebentar Kyai Muda Ismail IZ juga pernah plesir di Pondok  Surabaya dibawah asuhan K.H. Dahlan, di Pondok Bangkalan Madura. Dan terakhir mondok di Watu Congol-Muntilan-Magelang dibawah asuhan Simbah K.H. Ahmad Abdul Haq, tepatnya di Pondok Pesantren Darussalam peninggalan Al mukarrom Simbah K.H. Dalhar.
       Dan dari Watu Congol-lah K. Ismail IZ dijodohkan oleh Simbah Nyai Dalhar dengan salah satu muridnya yang berasal dari kota batik Pekalongan, yaitu Dewi Aisyah binti K.H. Al wi (Alm) yang konon kabarnya masih keturunan Sunan Kudus ( Syech Ja’far Shodiq ), yang mana kalau di Pekalongan terkenal dengan sebutan Kyai Dalail, karena beliau sebagai Mujiz Dalailul Khoirot.
        Maka sesuai dengan namanya K. Ismail Ibnuzzaman ( Putra Zaman ) artinya Putra yang tahu perkembangan zaman. Dengan kata lain tidak mau ketinggalan zaman, ingin mengejar ketertinggalan, ingin menyesuaikan perkembangan zaman, maka Kyai Muda tersebut langsung bangkit dari keterpurukan. Tepatnya pada tahun 1996 mendirikan Yayasan  Pendidikan & Sosial yang diberi nama Yayasan Assurur dengan Akta Notaris No. 22 Tanggal 21 Juni 1996 Notaris : Liembang Priyadi Daljono,SH. Yang kemudian dikarenakan nama Yayasan Assurur telah digunakan oleh lembaga lain yang ada di Indonesia, sesuai peraturan yang ada bahwa nama yayasan tidak boleh sama maka Yayasan Assurur berubah nama menjadi Yayasan Assurur Masakini dengan Akta Perubahan No. 5 tanggal 06 September 2007 Notaris : Liembang Priyadi Daljono, SH. Dan disahkan oleh Menteri Hukum dan Ham tanggal 27 September 2007 dengan SK Nomor : C-3190.HT.01.02 Tahun 2007.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar